Highlights News Batubara - UU Minerba Disahkan

UU Minerba Disahkan, Tiga Fraksi Walk Out
JAKARTA--MI: Setelah sempat diwarnai skorsing selama hampir satu jam, RUU Mineral dan Pertambangan (Minerba) akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang (UU) dalam sidang paripurna DPR RI, Selasa (16/12).
Namun pengesahan RUU yang pembahasannya memakan waktu hingga hampir 4 tahun ini diwarnai dengan aksi penolakan dari tiga fraksi yakni Fraksi PAN, Fraksi PKB dan Fraksi PKS yang selanjutnya melakukan aksi meninggalkan sidang, walk out.
"Fraksi Partai Amanat Nasional (F PAN) menolak Rancangan Undang Undang Mineral, Batubara dan Panas Bumi (RUU Minerba) untuk disahkan menjadi Undang-Undang (UU). Kami berpendapat bahwa pasal 169 butir A yang berbunyi Kontrak Karya Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) yang telah ada sebelum berlakunya Undang Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak perjanjian bersifat diskriminatif," ujar Juru Bicara Fraksi PAN, Zulkifli Halim, seusai memimpin fraksinya meninggalkan rapat paripurna DPR RI mengenai pengesahan RUU Minerba.
Ia menambahkan, kepada perusahaan-perusahaan baru diberikan pembatasan-pembatasan yang sangat ketat. "Sedangkan kepada perusahaan-perusahaan lama yang eksploitatif dimanjakan dengan diberikan semacam insentif untuk tetap melakukan kegiatan penambangan sampai masa kontraknya berakhir," ujar Zulkifli. Berdasarkan pertimbangan di atas, imbuh Zulkifli, Fraksi PAN DPR RI menolak RUU tentang Pertambangan Mineral, dan Batubara ini untuk disahkan menjadi Undang Undang, kecuali ketentuan Pasal 169 butir a di hapus. RUU Minerba ini, menurut Zulkifli Halim, belum memberikan jaminan atas penyelesaian masalah lingkungan secara tuntas dari pengelolaan pertambangan minerba. "Dalam RUU ini, pelaku usaha pertambangan minerba berkewajiban memberikan dana jaminan reklamasi dan pasca tambang yang bisa digunakan pihak ketiga apabila pelaku usaha tidak melakukannya," ujar Zulkifli.
Dengan kata lain, pelaku usaha tidak diberi kewajiban tuntas dan tanggungjawab penuh untuk menyelesaikan masalah lingkungan yang ditimbulkannya.
Hal senada juga nyatakan oleh Fraksi Kebangkitan Bangsa (F KB), melalui juru bicaranya, Miftah Hidayat agar persoalan pasal 169 butir A di kembalikan ke anggota dewan.  Meski awalnya dalam penyampaian pandangannya, F-KB tidak menentukan sikap menolak atau menerima, mereka akhirnya memutuskan menolak RUU tersebut serta mengikuti F-PAN melakukan walkout. "Pasal 169 itu memang sangat berpeluang melanjutkan terjadinya eksplotasi kekayaan alam tanpa memperdulikan kerusakan alam maupun potensi kerugian negara akibat sistem bagi hasil yang tidak adil," ujar juru bicara F-PKB, Misbah Hidayat.
Demikian halnya dengan Fraksi PKS yang semula sempat menyatakan persetujuannya, akhirnya juga melakukan walk out karena dalam pasal 169 B yang semula ada penjelasan justru ditiadakan. "Padahal penjelasan itu sangat substansif karena menyangkut kontrak karya yang penting tidak diatur di penjelasan," ujar juru bicara PKS Muhammad Idris Luthfi.
Rapat paripurna DPR RI dihadiri oleh 10 fraksi. Tujuh fraksi yang menyetujui UU ini diantaranya F-PDI Perjuangan, F-PDS, F-Golkar, F-PPP, F-Demokrat, F- Bintang Pelopor Demokrasi, dan F-PBR. Sedangkan Fraksi yang menolak adalah F-KB, F-PKS serta F PAN.
Pihak pemerintah bersikukuh untuk mempertahankan pasal 169 ini dengan alasan supaya iklim usaha di sektor mineral dan pertambangan tetap terjaga. "Kita ingin menghormati kontrak yang sudah ada untuk menjaga iklim usaha. Hal ini penting supaya kita tidak dianggap sebagai bangsa paria yang akan dikucilkan nanti," ujar Direktur Jenderal Mineral, Batu Bara dan Panas Bumi, (Minerbarapabum), Bambang Setiawan seusai rapat paripurna.
Meski demikian, imbuh Bambang sebenarnya sudah ada aturan untuk melakukan penyesuaian pasal-pasal yang diperdebatkan. "Kalau bentuknya adalah perjanjian pengusahaan, maka kontrak yang berbentuk izin usaha akan tetap berlaku," ujar Bambang. Terkait masalah luas wilayah yang diberikan, Bambang menyatakan luas wilayah yang diperbolehkan hingga lebih dari batas maksimal 25 ribu hektare. "Namun mereka harus sampaikan program jangka panjang sampai kontrak itu berakhir.�Bila tidak bisa maka kita akan minta untuk dialihkan," ujar Bambang.
Demikian halnya dengan penerimaan tambahan 10% di luar dividen, pemerintah akan memilah satu persatu karena bentuknya adalah kontrak, bukan izin. "Jadi bentuk rezimnya tetap kontrak, bukan perizinan. Yang pasti kita lega akhirnya RUU ini disahkan setelah menunggu sekian lama" pungkas Bambang.
Sumber : Media Indonesia
loading...