Objek Wisata Gunung Kawi Kabupaten Malang
Tiap hari ratusan orang Tionghoa, termasuk orang pribumi naik ke Gunung Kawi. Masa liburan plus cuti bersama sangat ramai. Karena terkait dengan kepercayaan Jawa, Kejawen, maka kunjungan biasanya dikaitkan dengan hari-hari pasaran Jawa: Jumat Legi, Senin Pahing, Syuro, dan Tahun Baru.
“Gunung tidak perlu tinggi asal ada dewanya”. Pepatah populer di kalangan warga Tionghoa ini bisa menjelaskan kenapa Gunung Kawi di Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, sangat populer. Kawi bukan gunung tinggi, hanya sekitar 2.000 meter, juga tidak indah. Tapi gunung ini menjadi objek wisata utama masyarakat Tionghoa.
Dulu daerah ini disebut Ngajum. Namanya berubah menjadi Wonosari karena di tempat ini terdapat obyek wisata spiritual, berupa makam Eyang Raden Mas Kyai Zakaria alias Mbah Jugo, dan Raden Mas Imam Sujono, alias Mbah Sujo.
Wono berarti hutan, sedangkan Sari berarti inti. Namun bagi warga setempat, Wono Sari dimaksudkan sebagai pusat rezeki yang dapat menghasilkan uang secara cepat.
Kecamatan Wonosari memiliki luas hampir 67 kilometer persegi, dengan jumlah penduduk 43 ribu jiwa. Tempat ini berkembang menjadi daerah tujuan wisata ziarah sejak tahun 1980-an.
Berkunjung ke kawasan Gunung Kawi, suasana magisnya sangat terasa. Bau asap dupa tercium di mana-mana. Jawasan ini dikenal sebagai tempat pesugihan.
Ini merupakan petilasan Prabu Sri Kameswara, lebih dikenal dengan nama keraton. Lokasinya di ketinggian 700 meter Gunung Kawi. Untuk mencapai tempat ini diperlukan perlu waktu setengah jam dari makam Eyang Bujo dan Sujo.
Pada tahun 1200 masehi, lokasi ini pernah menjadi tempat pertapaan Prabu Kameswara, pangeran dari Kerajaan Kediri yang beragama Hindu, saat tengah menghadapi kemelut politik kerajaan. Konon, setelah bertapa di tempat ini, sang prabu berhasil menyelesaikan kekacauan politik di kerajaannya. Kini petilasan ini menjadi tempat pemujaan.
Di kawasan ini juga terdapat beberapa tempat pemujaan lain, seperti pohon beringin tua yang berakar lima. Makam Eyang Jayadi dan Raden Ayu Tunggul Wati, keturunan Raja Kediri bertarikh 1221 masehi.
Biasanya lonjakan pengunjung yang melakukan ritual terjadi pada hari Jumat Legi (hari pemakaman Eyang Jugo) dan tanggal 12 bulan Suro (memperingati wafatnya Eyang Sujo). Ritual dilakukan dengan meletakkan sesaji, membakar dupa, dan bersemedi selama berjam-jam, berhari-hari, bahkan hingga berbulan-bulan.
Di dalam bangunan makam, pengunjung tidak boleh memikirkan sesuatu yang tidak baik serta disarankan untuk mandi keramas sebelum berdoa di depan makam. Hal ini menunjukkan simbol bahwa pengunjung harus suci lahir dan batin sebelum berdoa.
Selain pesarean sebagai fokus utama tujuan para pengunjung, terdapat tempat-tempat lain yang dikunjungi karena ‘dikeramatkan’ dan dipercaya mempunyai kekuatan magis untuk mendatangakan keberuntungan, antara lain:
1. Rumah Padepokan Eyang Sujo
Rumah padepokan ini semula dikuasakan kepada pengikut terdekat Eyang Sujo yang bernama Ki Maridun. Di tempat ini terdapat berbagai peninggalan yang dikeramatkan milik Eyang Sujo, antara lain adalah bantal dan guling yang berbahan batang pohon kelapa, serta tombak pusaka semasa perang Diponegoro.
2. Guci Kuno
Dua buah guci kuno merupakan peninggalan Eyang Jugo. Pada jaman dulu guci kuno ini dipakai untuk menyimpan air suci untuk pengobatan. Masyarakat sering menyebutnya dengan nama ‘janjam’. Guci kuno ini sekarang diletakkan di samping kiri pesarean. Masyarakat meyakini bahwa dengan meminum air dari guci ini akan membuat seseorang menjadi awet muda.
3. Pohon Dewandaru
Di area pesarean, terdapat pohon yang dianggap akan mendatangkan keberuntungan. Pohon ini disebut pohon dewandaru, pohon kesabaran. Pohon yang termasuk jenis cereme Belanda ini oleh orang Tionghoa disebut sebagai shian-to atau pohon dewa. Eyang Jugo dan Eyang Sujo menanam pohon ini sebagai perlambang daerah ini aman.
Untuk mendapat ‘simbol perantara kekayaan’, para peziarah menunggu dahan, buah dan daun jatuh dari pohon. Begitu ada yang jatuh, mereka langsung berebut. Untuk memanfaatkannya sebagai azimat, biasanya daun itu dibungkus dengan selembar uang kemudian disimpan ke dalam dompet.
Namun, untuk mendapatkan daun dan buah dewandaru diperlukan kesabaran. Hitungannya bukan hanya, jam, bisa berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Bila harapan mereka terkabul, para peziarah akan datang lagi ke tempat ini untuk melakukan syukuran
Di luar kompleks makam, ada Kelenteng Kwan Im. Lilin-lilin merah, besar, terus bernyala. Puluhan warga Tionghoa secara bergantian berdoa di sana. Disana juga ada ciamsi, ajang meramal nasib ala Tionghoa.
Sekitar enam kilometer dari kompleks makam ada pertapaan Gunung Kawi. Jalannya bagus. Kompleks ini pun penuh dengan ornamen Tionghoa. Di ruang utama ada tiga dukun yang siap menerima kedatangan tamu, berdoa agar rezeki lancar.