Oleh: Bernardus Rahardja Djonoputro*
Banyak kota di Indonesia senantiasa menyinarkan pesona kekhasan nya, namun pada saat yang bersamaan selalu penuh dengan kontroversi akan menurun nya kualitas hidup dan kenyamanan. Kota-kota seperti Bandung, Medan, Bogor, Jakarta, Surabaya, Makasar berkembang tak ubahnya hanyalah aglomerasi penduduk, sekelompok manusia yang secara bersama mendiami sebidang tanah, membangun tempat tinggal sesuai dengan kebutuhan, selera dan kemampuannya sendiri; dengan sebagian besar penduduk bekerja di sektor informal, yang pada dasarnya merupakan spillover (limpahan) dari sektor formal. Tidak ada nafas kota yang mencirikan ‘inilah kota tempat tinggal terbaik di Indonesia’ (Most Livable City) dengan segala kenyamanan yang seharusnya dimiliki kota.
Tulisan ini hendak sedikit memberikan bahan pemikiran khususnya era baru dalam alam demokrasi di tanah air, dengan di buka nya kesempatan calon independen pada pemilihan Walikota / Bupati nya secara langsung. Sebuah langkah maju dalam rangka sebuah kota memilih CEO (Chief Executive Officer) nya untuk mengelola secara mikro kota nya. Namun tantangan utama adalah kenyataan bahwa perkembangan kota yang “nyaris tanpa rencana” yang berakibat banjir, kriminalitas tinggi, kemacetan, polusi, sampah, kekumuhan, kemiskinan, adalah akibat tidak berjalannya konsep kemakmuran masyarakat dan penegakan hukum dalam tahapan implentasi produk rencana kota. Penegakan hukum dalam pelaksanaan produk rencana kota yang seharusnya merupakan koridor dari aktivitas warga masyarakat masih sulit untuk dilaksanakan dengan baik akibat ketidakberdayaan institusi, sistem politik dan politikus kota yang sangat belum dewasa dan minim kompetensi manajemen kota.
Bangsa dan negara Indonesia sedang mengalami suatu proses transisi menuju suatu kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, adil dan makmur. Dalam proses ini terjadi perubahan-perubahan secara cepat termasuk di bidang ekonomi, pembangunan spatial kota dan wilayah. Pemerintah, perencana, manajemen korporasi dan masyarakat membutuhkan pendekatan baru yang berkaitan dengan paradigma baru dan metode penyelesaian masalah dalam menghadapi dan mengantisipasi perubahan-perubahan yang sedang dan akan terjadi serta untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul menyertai.
Saat ini tantangan bagi pembangunan dan perencanaan menuntut pendekatan yang menyeluruh (cybernetics). Para penyelenggara kota dituntut untuk dapat mengantisipasi kecenderungan yang terjadi, fenomena perkembangan sosio-politk bangsa, memandang permasalahan secara kontekstual, dan menguasai piranti mutakhir sebagai alat bantu perencanaan.
Perencanaan wilayah dan kota harus dilakukan secara simultan, yaitu tidak dilaksanakan secara sequential lagi dari perencanaan nasional dijabarkan ke perencanaan regional dan kemudian ke perencanaan wilayah/kota, akan tetapi secara bersama secara sistem melihat umpan balik yang akan dilakukan oleh jenjang wilayah yang lebih rendah apabila ada suatu kebijakan secara makro akan diluncurkan oleh Pemerintah. Dengan demikian suatu rencana kebijakan dapat disimulasikan dengan baik untuk melihat dampak suatu policy nasional terhadap perkembangan kota.
Perencanaan Kota Menyeluruh
Dua school of thoughts yang penting adalah perencanaan berdasarkan substansi dan proses dan perencanaan berlandaskan moral dan tujuan (goals). Pada kedua paham tersebut setiap perencana niscaya harus mempertajam pengertian akan permasalahan atau existing conditions, dan mengangkat ‘public issues’ untuk di pecahkan dalam produk-produk rencana. Jadi para perencana sebenarnya sangat paham bahwa ‘fakta dan analisa permasalahan’ adalah titik awalnya.
Selain dua paham pemikiran tersebut ada dua hal yang perlu digaris bawahi. Pertama, bahwa penyelenggara kota perlu meiliki kapasitas perencana serta harus peka terhadap faktor non-teknis yang justru bisa menjadi penentu berjalan atau tidaknya produk rencana. Kebijakan fiskal, kondisi ekonomi dan dinamika politik nasional/daerah niscaya akan mempengaruhi. Demikian juga berkembangnya“open society“ akibat perkembangan sistem kapitalis global, menyebabkan nasib suatu negara (sovereign state) tergantung pada arus permodalan dan kebijakan pinjaman dunia. Penyelenggara kota dan Perencana perlu menyadari bahwa arus pengaruh global sangat menentukan, sehingga sensitivitas dan penguasaan isu-isu seperti ini perlu dibangun.
Yang kedua, adalah pentingnya menata keseimbangan peran state dan publik. Bagaimana sebaiknya pemerintah daerah berperan dalam menghasilkan produk rencana yang community-based dan goal oriented? Seperti juga dalam system perekenomian, pemerintah kota harusnya berperan sebagai fasilitator dan faktor penyeimbang bagi publik. Keseimbangan fungsi kontrol dan perencanaan akan membuahkan sebuah mekanisme pengembangan ruang publik yang pro-publik. Bagaimana sebaiknya peran state dalam ‘open society’? State dengan sistem politik dan ekonominya, perlu mencari porsi equiribilium (keseimbangan) perannya.
Citizen Charter/ Kesepakatan Warga
Peran pemerintah kota seharusnya berpatokan pada pemenuhan tuntutan publik dan warga kota akan kenyamanan dan kesejahteraan dengan melibatkan masyarakat dalam penataan pemerintah. Pemerintah kota sebagai institusi publik harus mengidentifikasi tujuan, peran dan arah organisasi yang dijabarkan di dalam rencana. Hal ini akan menyebabkan perubahan kearah akuntabilitas institusi publik dari ‘accountability to elected officials to accountability to customers’, dimana pemerintah kota bertanggung jawab kepada warganya. Mekanisme pengawasan masyarakat yang melekat mengarahkan perubahan kekuasan dari ‘top and center’ to ‘the Moment of Truth”, yaitu interaksi antara pemerintah dan warga negara. Pengawasan berjalan pada saat pelayanan publik diberikan kepada masyarakat, sehingga indikator experience dan value yang diterima masyarakat menjadi faktor terpenting dalam mengukur efektifitas, efisiensi dan akuntabilitas pelayanan publik.
Beberapa persoalan mendasar yang dapat diasumsikan sebagai penyebab buruknya kualitas pelayanan public dan birokrasi di Indonesia antara lain kebijakan yang pseudo-demokratis, lemahnya partisipasi public, masih kuatnya budaya pangreh praja, dan masih melekatnya semangat sentralisme di kalangan lembaga negara yang bertugas melindungi hak-hak public. Dalam hal pengelolaan dan perencanaan kota, produk rencana dan pelaksanaannya sama sekali tidak melibatkan apalagi melayani dengan baik warganya.
Langkah yang harus dilakukan adalah melakukan perumusan citizen-citizen charter dalam setiap sisi rencana kota. Bagaimana hal ini dapat dilakukan ? Layaknya penyusunan visi dan misi di korporasi atau perusahaan besar, para warga hendaknya membangun sebuah kesepakatan dengan penyelenggara kota mengenai visi dan misi kota. Kesepakatan yang dibangun mencakup bagaimana kota dapat memenuhi kebutuhan dan tuntutan kesejahteraan, kualitas hidup, kenyamanan, keamanan dan kepastian hukum serta lingkungan yang terjaga. Citizen Charter adalah pedoman bagi penyelenggaraan kota, yang akan menjadi kompas dalam navigasi arah perkembangan kota dan pelayanan publik.
Dibangunnya kesepakatan warga ini pada gilirannya akan menciptakan penyelenggara kota dan perencana yang transparan dan menganut prinsip-prinsip good governance. Kesepakatan warga akan secara otomatis mengikutkan warga dalam semua aspek kehidupan kota. Dalam hal penyusunan rencana kota, keterlibatan warga bukan saja berkenaan dengan sekedar mengetahui, tetapi juga terlibat secara aktif didalam mengawasi pelaksanaannya. Kesepakatan publik dalam perencanaan kota tidak dapat hanya dijamin dengan representasi perwakilan di DPRD, melainkan perlu secara universal mengakomodasi semua lapisan warga di kota tersebut.
Layaknya perumusan visi dan misi sebuah organisasi atau perusahaan, Kesepakatan Warga atau Citizen Charter adalah panduan dasar untuk semua kebijakan dan strategi pelyanan publik. Dalam praktek nya, Citizien Charter merupakan implementasi dari Standar Pelayanan Minimu, namun ditarik lebih jauh dengan memberikan insetif dan insentif baik bagi warga maupun pemerintah kota nya. Setiap dinas pelayanan, akan memiliki Standar Pelayanan Minimum, yang dikomunikasi kan secara terbuka baik melalui website atau jalur informasi terbuka lainnya seperti media massa dan media elektronik. Nah, disini, setiap warga kota memilki hak untuk mendapatkan pelayan dan terutama sadar tentang “hak” nya.
Citizen charter dibangun secara kolektif bersama warga, pemerintah, perwakilan rakyat dan kalangan LSM, dan harus mampu mengekspresikan filosi kehidupan kota tersebut, sosial-budaya, lingkungan dan ekonomis. Semua kesepakan akan menjadi binding contract antara warga dan pemerintah atau pemberi pelayan publik, dengan tujuan akhir penyelenggaraan pelayanan publik yang transparan dengan tingkat akuntabilitas tinggi. Banyak contoh citizen charter berhasil yang sudah dibagun dibanyak pemerintah kota dunia. Inggris merupakan salah satu negara pelopor yang berhasil. Demikian juga sudah semua negara bagian di India menciptakan Citizen Charter, dan secara terbuka mensosialisasikannya kepada publik (atau dalam hal ini dalam penyusunan Renstra, rekomendasi draft-draft perda, rekomendasi isi RUU Ombudsman, dst.).
Tidak ada kata terlambat untuk mulai suatu pembaharuan. Kita tengok beberapa kota kompleks seperti Shanghai, Mumbay, St. Petersburgh (pra krisis), yang secara riil mampu mengekspresikan ciri khasnya sekaligus mencoba untuk memenuhi kebutuhan warganya. Di Inggris dan India, pemerintah daerah membuat citizen charter sebagai pedoman kebijaksanaan dan transparansi tata pamong (governance), dan mempublikasikannya ke publik melalui media-media komunikasi kota, pengumuman negara dan website. Para perencana mampu membangun kota yang penuh refleksi hati nurani perencana dan administratur kotanya, serta merupakan fungsi optimasi dari potensi kota itu sendiri. Dibanyak kota terutama US dan Australia, statutory reform sebagai wacana sudah menjadi institusi yang demikian solid. Inilah kesempatan kita untuk mulai.
Peran sentral pemerintah kota dan pimpinan nya di masa otonomi daerah ini tidak dapat lagi ditunda-tunda. Keputus-asaan masyarakat dengan seolah tak berfungsinya kelembagaan negara seperti yang kita alami saat ini sangat mengancam hajat hidup kita kedepan. Akibat otonomi daerah dan ketidak mampuan mengartikan peran dan nilai strategis otonomi, malapetaka demi malapetaka terus menimpa rakyat. Perhatikan betapa fenomena turunnya kualitas hidup kota di kota-kota Indonesia, hanyalah suatu konfirmasi atas betapa nurani dan akal sehat tidak lagi menjadi kompas bagi pelaksana negara untuk bertindak. Kita telah menjadi bangsa yang pasrah, semakin lama semakin tenggelam dalam kesesakan masalah sendiri, tertinggal jauh bahkan dari jiran terdekat!
Nah, peran planner, pendidik, negara, para pengambil keputusan, maupun masyarakat pada gilirannya adalah penentu kualitas kehidupan kota, dan kita perlu sepakat sekarang agar tidak lagi berkutat dalam kemelut ketidakmenentuan dan mencegah semakin menurunnya kualitas hidup kita. “Physical development is not a reherseal with an opportunity to do it correctly at a later time without incurring cost of duplication, new infrastructure and loss of local resources”.
* Bernardus R. Djonoputro
Sekretaris Jenderal IKATAN AHLI PERENCANAAN (IAP). Penulis juga adalah Co-Founder/CEO HD Asia Advisory http://perencanamuda.wordpress.com/2008/08/07/kesepakatan-warga-dan-perencanaan-kota/