Pariwisata Budaya Pasuruan

Pariwisata Budaya Pasuruan
Oleh : kaji karno
Daerah diberi kewenangan untuk mengembangkan, mengelola potensi pariwisata di daerahnya masing-masing. Antara keinginan dan kondisi obyek wisata daerah menjadikan pengelola pariwisata ragu-ragu dalam bertindak. Hal ini disebabkan oleh persepsi-persepsi yang sudah menjadi mainstream bahwa obyek wisata itu harus yang indah-indah pemandangannya seperti alam Pulau Bali, danau Toba, Yogyakarta dengan Parangtritisnya, Candi Borobudur, dan lain sebagainya. Kota Pasuruan, apa yang dapat ditawarkan? Kota yang gersang, kota industri, perdagangan dan jasa? Tidak indah, semrawut, kotor, dan jauh dari cita-rasa estetika?
________________________________________
Sejarah Wisata
Pada tahun 1819 Museum Kerajaan Belanda mengkoleksi patung-patung dari candi Singosari. Bersamaan dengan itu, pelukis muda Raden Saleh bermukim di Belanda. Perancis, dan Jerman dari tahun 1829 hingga 1852. Perjumpaan orang Eropah dengan estetika-nusantasra pada Pekan Raya-Pekan Raya Semesta (Expotition universelles), memacu mentalitas Barat menerima eksotisme yang kemudian melahirkan yang dikenal -dalam terminologi modern- dengan wisata.
imageKisah perjalanan yang ditulis pada tahun 1897 oleh Eliza Ruhamah Scidmore dari Amerika Serikat dengan judul Java the Garden of the East . Pada kulit buku bergambar wajah seorang Eropa berdiri di geladak sebuah kapal pesiar memperhatikan dengan serius ...”orang-orang Melayu menyelam demi sekeping uang” (Malays diving for money). Bali, baru pada tahun 1930-an masuk dalam jaringan wisata.
Tampaklah bahwa obyek-obyek wisata yang diminati wisatawan sejak peralihan abad 19 hingga saat ini adalah sesuatu yang berbeda dengan budaya daerah asal wisatawan. Perbedaan itu meliputi segala aspek, baik unsur, wujud, sistem norma, pranata kelakuan yang berpola maupun produk fisik kebudayaan. Keanehan, atau tepatnya perbedaan budaya inilah yang menjadi energi wisatawan untuk berkunjung ke suatu tempat.
Kota Pasuruan memiliki potensi sebagai tempat tujuan atau tempat wisata singgah karena memiliki peninggalan-peninggalan hasil karya budaya manusia-manusia di masa lalu yang pernah hidup di kota Pasuruan. Apabila peninggalan budaya masa lalu digali kembali, ditata sedemikiasn rupa maka keinginan untuk menjadikan kota Pasuruan sebagai obyek wisata-budaya akan terwujud.
Morfologi Budaya
Morfologi budaya kota Pasuruan dibagi menjadi tiga periode. Pertama, periode budaya-santri-Cina (Islam), periode priyayi, dan yang terakhir periode abangan (Kaji Karno, Pasuruan Kota Multikultural, 2008, belum diterbitkan).
1. Santri
Penggunaan terminologi santri dalam tulisan ini bersifat epistemologis, artinya seseorang yang memeluk Islam sesuai dengan syari'at baik NU, Muhammadiyah, maupun santri yang hidup di pondok pesantren.
Sejak ilmuwan Muslim menemukan astronomi, navigasi, kompas pada abad ke-tujuh maka perdagangan melalui jalur laut semakin ramai. Diperkirakan pada abad ke-9 kota-bandar Pasuruan yang oleh pelaut Portugis disebut Tanjung Tembikar, menjadi tujuan pengembaraan orang-orang Hindu, Budha, Islam, dan cina-islam. Sementara pemeluk Hindu, dan Budha melanjutkan pengembaraannya ke gunung-gunung, orang-orang Islam menetap di daerah pantai.
2. Priyayi
Sultan Agung merebut kota Pasuruan pada tahun 1617. Sejak saat itu pranata-pranata budaya priyayi mengisi format-format kekuasaan di kota Pasuruan. Sebagai kelas yang berkuasa, para priyayi mendominasi kehidupan masyarakat yang berpusat di tengah kota, sementara kaum santri menyingkir ke pingir-pinggir kota.
3. Cina
Cina bermukim di kota Pasuruan hampir bersamaan dengan kedatangan santri. Hal ini dibuktikan oleh catatan sekretaris Cheng Ho yang bernama Ma Huan, bahwa kota-kota pesisir Utara Jawa banyak dihuni oleh imigran-imigran Cina yang beragama Islam. Nama Pasuruan oleh Ceng Ho disebut Yang Wang. Dalam tulisan ini yang dimaksud budaya Cina setelah Pasuruan direbut oleh Mataram adalah orang-orang cina-pelarian akibat dari pemberontakan Cina di Kartasura yang menyebar ke seluruh daerah di Jawa Timur termasuk ke Kota Pasuruan
b. Abangan
Kaum abangan adalah penduduk asli Jawa yang pertama kali, dan menurut penelitian keberadaan mereka di Jawa sejak sebelum Masehi, namun kedatangannya di Pasuruan secara besar-besaran pada prolog G.30.S PKI, pada awal-awal tahun 60-an. Eksodus besar-besaran ini dipicu oleh kebijakan pemerintah melalui land-form.
Wisata Budaya
Banyak definisi budaya yang dihadirkan para ahli, dan jumlahnya kurang lebih 127 definisi. Definisi budaya yang paling sederhana adalah kebiasaan. Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan universal terdiri dari tujuh unsur yaitu; sistem religi; sistem organisasi kemasyarakatan; sistem pengetahuan; bahasa; kesenian; sistem mata pencaharian; dan sistem teknologi/peralatan. Sedangkan wujud budaya ada tiga yaitu pertama, wujud budaya yang bersifat abstrak, termasuk di dalamnya ; ide-ide, gagasan, sistem nilai, dan norma. Wujud budaya yang kedua yaitu kelakuan berpola dari masyarakatnya, dan wujud budaya yang ketiga nerupa benda-benda hasil karya manusia lingkungannya.
Potensi obyek wisata di Pasuruan dapat gali melalui obyek wisata budaya. Dalam analisis SWOT, kekuatan, dan peluang mengembangkan pariwisata kota Pasuruan melalui jalur budaya berpotensi menutup kelemahan dan kekurangan dalam segi keindahan. Tantangannya adalah merubah pandangan aparat birokrasi, dan juga masyarakat kota Pasuruan bahwa obyek wisata tidak mesti dan tidak harus seperti indahnya Pulau Bali. Terbukti dalam sejarah awal pariwisata bahwa kunci ketertariakan wisatawan manca-negara terhadap obyek wisata karena ada sesuatu yang berbeda dengan budaya temapat asal wisatawan.
Obyek wisata-budaya kota Pasuruan yang berupa wujud budaya yang ketiga yaitu hasil karya masyarakat kota Pasuruan masa lalu yang bernilai sejarah misalnya, kerajinan kayu, gerabah. Sejarah kerajinan kayu di Pasuruan dapat ditulis berupa narasi tentang misalnya, mengapa industri meubel berpusat di daerah-daerah Krapyak, Bukir, Petahunan, Randusari. Sebani, Gentong, dan sebagainya. Mengapa Kota Pasuruan menurut catatan pelaut-pelaut Portugis disebut Tanjung Tembikar?
Rumah-rumah hasil karya budaya Cina patut dijual kepada wisatawan. Rumah-rumah ber-arsitektur Cina yang menghadap ke Utara menunjukkan dan memberi informasi kepada kita bahwa rumah tersebut dibangun oleh imigran Cina dari provinsi yang berbeda dengan rumah-cina yang dibangun menghadap ke Selatan. Dan Mengapa penganut Dewa Kwan Im selalu mendirikan 'klenteng' menghadap ke Selatan?
Kesenian adalah isi kebudayaan dari salah satu dari tujuh unsur budaya. Orang dapat menafikan 'trikhotomi' santri, priyayi, abangan dan cina bahwa batas-batas budaya aliran telah runtuh, tetapi tetap saja antara keempat budaya mempunyai kekhasan, simbol, nilai, keseniannya masing-masing. Kesenian santri, priyayl, abangan dan Cina di Pasuruan apakah tidak layak jika dijual kepada wisatawan?
Penutup
Obyek wisata tidak mesti obyek yang alamnya indah, tetapi obyek wisata dapat dijual dengan menampilkan budaya lingkungan masyarakatnya. Tantangan yang paling mendasar bagi pengelola, komunitas yang bergelut dalam bidang ke-pariwisataan adalah mengubah paradigma wisata yang berorientasi kepada keadaan alam kepada paradigma baru tentang obyek wisata secara holistik.
Namun demikian, persoalan kepariwisataan di kota Pasuruan tergantung kepada semangat, niat baik pemerintah kota Pasuruan dalam keseriusannya mengembangkan potensi budaya daerah yang kaya warna, di dalam kawasan Pasuruan Kota Multikultural.
Daerah tidak saja memiliki kewenangan, kemandirian, kebebasan, tetapi juga dimungkinkan untuk menggali, mengembangkan secara berkesinambungan potensi-potensi riil yang ada di daerahnya masing-masing. Potensi riil ini tidak saja dari sumber daya alam, baik hayati maupun non hayati, tetapi juga terdapatnya budaya lokal.
_________________________________________________________
Daftar Bacaan
  1. 1. Denys Lombard , 1996, dalam Morfologi dan Tipologi Kota Pasuruan, Seminar Arsitektur oleh Mahasiswa Brawijaya Malang, dal Fakhrudin, Transformasi Tatanan Pemukiman Sebagai Akibat Pembangunan Ekonomi di Pasuruan (Tesis)
  2. Alisyahbana, Sutan Takdir, Sejarah Kebudayaan Indonesia, dalam Siddiq Fadzil, Potensi Kepeloporan Melayu Abad 21, Jurnal Kebudayaan dan Peradaban, Ulumul Qur’an, Nomor I,Volume VII, Tahun 1996.
  3. Benda HJ. The Structur of Southest Asian History Some Preliminary Observation, dalam Onghokham, Prisma 8, Agustus 1983.
  4. Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta, Peerbit Bentang.
  5. Karno. Kaji, Pasuruan Satu Kota Tiga Budaya, 2002 (Tidak diterbitkan)
  6. Karno Kaji, Membeli Cahaya Bulan, Fima Rhodeta, Bekasi, 2005.
  7. Clifford Geertz, Perubahan Sosial dan Modernisasi di Dua Kota di Indonesia, dalam Taufik Abdullah, Etos Kerja dan Pengembangan Ekonomi, 1979
  8. De Graaf, H.J. 2001 Awal Kebangkitan Mataram, Pustaka Jaya, Yogyakarta.
  9. De Graaf, H.J. 2002, Puncak Kejayaan Mataram, Pustaka Jaya, Yogyakarta.
  10. Willem Remmelink, 2002, Perang Cina dan Runtuhnya Negara Jawa 1725-1743, Yogyakarta, Penerbit Jendela.
  11. Thomas Wijaya Bratawijaya, 1997, Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa PT Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan Pertama.
____________________________________________________________________
Tulisan ini disampaikan pada acara Dialog Sejarah Budaya Kota Pasuruann yang diselenggarakan Disporabud Pemerintah Kota Pasuruan pada hari Rabo Tanggal 14 April 2010.
loading...